Banjir
yang melanda beberapa desa di beberapa kecamatan di Kabupaten Pati baru-baru
ini mendatangkan berbagai polemik. Banjir yang terjadi sejak Minggu (19/1/2014)
dini hari pukul 02.00 WIB ini mengejutkan berbagai pihak, baik itu dari
kalangan pemerintah daerah maupun
masyarakat. Sebab banjir bandang ini telah menenggelamkan jalan-jalan protokol,
dan merendam 40 desa di sembilan Kecamatan. Kecamatan yang terendam banjir
diantaranya Kecamatan Pati Kota, Gabus, Juwana, Jakenan, Dukuhseti, Margoyoso,
Tayu, Trangkil, dan Sukolilo. Akibatnya kegiatan perekonomian warga yang
mayoritas bekerja di sektor pertanian lumpuh total dan banyak warga yang hanya
berdiam diri di rumah menunggu datangnya bantuan yang hingga hari ini (Selasa, 21/01/2014)
belum juga datang.
Banyak
yang berspekulasi bahwasanya banjir ini disebabkan oleh curah hujan tinggi dan
membuat bendungan yang seharusnya mengarahkan aliran air ke laut melebihi
kapasitas, hingga mengakibatkan air meluap sampai di pemukiman warga. Sepintas
logika seperti ini memang benar, tapi bila dikaji lebih dalam, sejatinya akar
permasalahan banjir ini ada hubungannya dengan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Undang-undang Pokok
Kehutanan tahun 1999 terkait program reboisasi hutan yang diterapkan di
Kabupaten Pati.
Undang-undang yang tidak efektif
Sebagaimana
catatan sejarah bahwa terjadi penebangan hutan besar-besaran di era Orde Baru
yang dijadikan sebagai sumber pemasukan kas negara. Penebangan ini semakin
memuncak saat terjadi kerusuhan pada tahun 1998 untuk melengserkan rezim Orde Baru.
Sehingga pada tahun 1999 banyak hutan di Kabupaten Pati yang gundul akibat
pembalakan liar masal tersebut. Di Era Reformasi pemerintah mengeluarkan
program reboisasi hutan, sebagaimana yang tertuang dalam Undang- undang Pokok
Kehutanan tahun 1999. Implementasi dari kebijakan ini adalah adanya sistem pengolahan
lahan oleh masyarakat di lahan reboisasi yang menjadi milik pemerintah. Karena
pohon yang di tanam masih kecil, masyarakat mendapat kesempatan untuk
memanfaatkan lahan di sekitar tanaman reboisasi tersebut sebagai lahan
pertanian. Kemudian setelah pohon reboisasi tersebut sudah dinilai cukup besar
maka kontrak penggunaan lahan tersebut dianggap sudah habis. Masyarakat Pati
sering menyebut tanah milik pemerintah yang mereka kelola ini dengan istilah mborgan.
Dengan
adanya kebijakan ini masyarakat diuntungkan karena bisa mengolah lahan mborgan mereka untuk di tanami tanaman
seperti umbi-umbian atau kacang tanah. Alhasil, perekonomian masyarakat meningkat,
karena melalui kebijakan ini setiap kepala keluarga mendapat jatah setidaknya
setengah hektar lahan mborgan.
Namun
niat baik pemerintah ini justru disalahgunakan oleh masyarakat, banyak pemilik mborgan menebang pohon reboisasi bila
telah dianggap besar, kemudian mereka ganti dengan bibit pohon reboisasi baru,
sehingga kontrak mborgan mereka
memiliki umur yang lebih panjang. Di satu sisi masyarakat memang diuntungkan,
namun tanpa disadari dengan praktik ilegal ini, mereka ibarat sedang mengirim
surat undangan terhadap bencana. Sebab dengan melakukan tindakan tercela
tersebut proyek besar pemerintah untuk reboisasi hutan tak akan kunjung berhasil.
Hingga
saat ini, setelah 15 tahun proyek reboisasi ini digagas, kondisi hutan di
sebagian besar daerah di Kabupaten Pati masih dalam keadaan yang
memprihatinkan, tidak berbeda dengan Era Orde Baru. Maka tak ayal bila saat ada
curah hujan yang tinggi terjadi banjir bandang sebagaimana yang sekarang terjadi
di Kabupaten Pati.
Hutan
yang gundul mengakibatkan ketidakseimbangan komponen dalam ekosistem alam. Akibatnya,
pendangkalan aliran sungai pun terjadi karena tanah dari gunung ikut terbawa
arus air, sehingga sungai yang dangkal tersebut tidak mampu menjalankan
tugasnya sebagai distributor air ke laut tapi justru malah meluapkannya ke pemukiman
warga. Bila tidak segera diatasi, masalah ini juga akan menimbulkan bencana
lain, seperti tanah longsor, pencemaran tanah, pencemaran air dan kerusakan
lingkungan lainnya.
Butuh solusi.
Banjir
adalah bencana yang sangat mengerikan, banyak kerugian yang ditimbulkan seperti
kelaparan, kerusakan rumah dan fasilitas umum, timbulnya berbagai penyakit dan
banyak lagi kerugian lain yang ditimbulkan. Untuk mengatasi hal ini perlu
adanya sinergi antara pemerintah kabupaten, perangkat desa dan masyarakat.
Bagi
pemerintah kabupaten perlu adanya pengawasan yang ketat dalam menjalankan
proyek reboisasi hutan, agar masyarakat tidak menyelewengkan kepercayaan yang
diberikan pemerintah untuk mengolah lahan reboisasi. Pengawasan bisa dilakukan
dengan cara melakukan pemeriksaan kondisi pohon secara berkala, setiap tahun
sekali misalnya. Pemerintah juga perlu menegakkan hukum yang berlaku dengan tegas
bagi para penebang hutan liar.
Sedangkan
bagi pemerintah desa, perlu memberikan penyuluhan kepada masyarakat desa
sekitar hutan yang umumnya masih awam terkait pentingnya pelestarian
lingkungan. Dan bagi masyarakat harus memiliki kesadaran bahwasanya hutan yang
mereka kelola adalah amanah bagi generasi masa depan sehingga harus
dilestarikan keberadaannya.
Penulis : Muhammad Shobaruddin (Warga Desa Ngagel, Kecamatan Dukuhseti, Kabupaten Pati dan Mahasiswa Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Walisongo Semarang)
0 komentar:
Post a Comment