“Atracayatra”

Panggung adalah sebuah tempat yang terlihat aneh. Ada dua sudut pandang suasana yang ditampilkan dalam panggung dengan tampilan yang setengah-setengah. Di bagian kiri tampak suasana seperti sedang berada dalam sebuah kamar pribadi, ada tempat tidur dengan tikar kusam beserta bantal dan selimut kusutnya. Kamar tersebut berlantai tanah dan terlihat sangat sederhana yang didominasi oleh anyaman bambu. Di bagian panggung yang setengah lagi ada tumpukan-tumpukan buku yang berserakan, piala-piala, piagam-piagam penghargaan, medali, dan berjajar baju-baju rapi yang tampak dihanger di sudut paling kanan. Pembatas antara kedua hiasan panggung tersebut adalah sebuah pintu reyot berbahan bambu dan terdapat tulisan “Te@asa Pulang Kampung” yang terlihat sederhana dan apa adanya. Semua hiasan panggung ini berlatar belakang kain warna hitam.

Kisah yang akan disampaikan dalam pementasan ini tidak akan terpaku pada pementasan seperti sebelum-sebelumnya yang biasa disebut drama. Yang mana terpaku pada sebuah naskah yang diiringi musik sebagai instrumen pembangun suasana. Naskah ini menceritakan seorang lelaki bernama Atra, lulusan pesantren yang kini tengah merantau sebagai mahasiswa di pusat kota yang sedang rindu kampung halamannya. Ia lama sekali tidak pulang, dan banyak hal yang ia rindukan. Mulai dari kedua orang tuanya, para kyainya, serta kawan-kawan lamanya yang sering ia jadikan tempat bercerita ketika ada hal-hal menarik yang muncul dari pikirannya. Hal-hal menarik itu berupa ide atau pun gagasan sebagai resepsi atas kejadian-kejadian atau fenomena sosial yang terjadi di sekelilingnya. Ia tegas, tenang, walaupun sering tidur kebablasan namun ia seorang yang kritis dan peka terhadap suasana. Hobinya adalah bermusik, saking ia mencintai musik, bahkan rela terlambat masuk kuliah saat belum menyelesaikan aransemen-aransemen garapannya. Karena ternyata materi-materi permatakuliahan sudah ia pahami sampai di luar kepala. Hal itulah yang menyebabkan terkadang ia sengaja terlambat untuk berangkat kuliah.

Pementasan ini akan sering bercerita dengan gerakan-gerakan teatrikal, monolog, dan sesekali membaca puisi. Inti dalam cerita yang ingin disampaikan adalah Nasionalisme, yang mana sebuah nasionalisme adalah dimulai dari diri sendiri, dari kesetiaan Atra sebagai tokoh utama terhadap kampung halamannya, yang walaupun telah merantau bertahun lamanya tetap kokoh mengerjakan wejangan-wejangan dari para kyainya, pesan-pesan orang tuanya, dan yang terpenting adalah tahu diri. Karena bagi Muza, tahu diri adalah langkah awal menuju seorang yang loyalis dan nasionalis sejati.

Pementasan ini akan diperankan oleh dua pemain inti, Atra dan satu tokoh bayangannya yang bernama Yatra. Yatra adalah representasi dari Atra yang berbentuk bayangan, dalam pementasan ini akan sering melakukan gerakan-gerakan teatrikal. Pemain musik juga berperan sebagai aktor-aktor yang selain bermain instrumen pembangun suasana juga terlibat dalam alur penceritaan. Selain menyajikan suara musik alami, instrumen-instrumen hidup juga akan sering dimainkan. Para pemain musik yang berseragam hitam dan terkadang melakukan gerakan tertentu adalah representasi dari hobi Atra yang kaya imajinasi dan unik, namun terkadang kosong dan bodoh ketika Atra merasa kacau dengan pikiran-pikirannya sendiri. Terlebih saat Atra patah hati karena hubungan dekatnya dengan seorang teman sekelasnya diakhiri karena suatu masalah tertentu, Atra tampak kacau dan bingung. Namun adegan ini nantinya akan diperankan oleh Yatra yang dinasehati oleh salah satu pemain musik yang membacakan sebuah narasi.

Dari narasi itu, Atra sadar. Bahwa saat ini persoalan kampung halamannya lebih penting. Karena kampung halamannya bukan sekedar kampung jadul yang sering kolot terhadap cakrawala yang semakin memerah, desakan ufuk yang semakin ke barat, dan purnama menanti di wajah jendela kamarnya. Kampung halamannya adalah peradaban, agen pembentuk karakter luhur dan berbudi manusiawi. Meskipun ia tengah hidup dalam masa sulit atas kesewenang-wenangan pemerintahan Republik Cangkem, yang begitu kecangkeman dan berisi cangkem-cangkem belaka. Ia kesal, letih dan bosan, namun semangatnya tumbuh ketika ia pulang kampung, dan membangun kampungnya dengan sesuatu yang telah ia peroleh dari tanah rantaunya.







 ( BABAK I )

Cerita diawali dengan warna panggung tanpa lampu satu pun, gelap dan sunyi. Para pemusik duduk berjajar di depan panggung, mengenakan pakaian serba hitam, dan bermacam-macam warna mukanya. Setelah memulai pementasan dengan musik pembuka dengan sorotan lampu panggung yang remang-remang, sang peniup trumpet kemudian melanjutkannya dengan bebunyiannya sendiri. Terdengar lirih suara trumpet yang mendayu-dayu, pelan, naik dan kemudian pelan kembali dengan lampu panggung yang awalnya remang-remang, hidup terang, sesekali mati, dan berulang-ulang. Iramanya begitu menggambarkan suasana yang benar-benar tenang, ibaratnya seperti suara pesinden dengan lekuk-lekuknya yang khas dan ramah di telinga.

Trumpet masih berbunyi lirih dan lampu menyala perlahan. Dengan perlahan pula Yatra (Tokoh Bayangan) berjalan keliling panggung dengan gerakan yang lentur dan seolah-olah menari, seluruh badannya berwarna putih. Tariannya begitu tidak jelas namun teratur, menggambarkan bahwa ia sedang berada dalam kekakuan-kekakuan yang mengekang dirinya. Sampai ia meringis-ringis, seperti meraung kesakitan, mengaduh tanpa suara. Kemudian dengan ekspresi wajah yang terperangah, ia melihat selembar kain berwarna-warni yang tergantung di depan pintu tengah. Ia mencoba mengambilnya dengan susah payah, dengan tangan yang tiba-tiba tidak bisa digerakkan ia kemudian menggunakan kakinya. Akhirnya selembar kain berwarna-warni tersebut dapat diraihnya.

Saat Yatra berhasil meraih kain, suara trumpet berhenti. Disambung dengan suara air yang dihasilkan oleh bambu berisi pasir, menyuarakan alam dan dibantu dengan suara-suara wilahan saron yang ditabuh lirih. Begitu juga bas dan tek-tek kentongan yang sesekali menyelingi suasana hening itu. Yatra kemudian berganti ekspresi menjadi keras dan kejam, tatapan matanya begitu melotot dan menakutkan, sembari menari dengan kain berwarna-warni yang baru didapatnya. Ia keliling panggung dengan tatapan mata yang lurus dan leher kepala yang bergerak sesekali. Kemudian ia mundur dan berdiri persis di depan pintu tengah, dengan menggenggam kain berwarna-warni itu dan menjeratkannya pada leher, ia merentangkan tangannya lebar-lebar. Ia berdiri kaku tidak bergerak, tatapan matanya fokus ke depan pada satu titik, dengan ekspresi datar dan tetap konsentrasi. Iringan musik masih berlangsung, sampai lampu yang menyorot kepada Yatra mati dan lampu yang menyorot pada bagian kiri panggung hidup perlahan.



( BABAK II )

Setelah lampu yang menyorot pada bagian kiri panggung hidup dan musik berhenti, tampak pada panggung bagian kiri seseorang masih tidur dengan lelapnya. Tidak ada bunyi alarm jam, ia nantinya akan dibangunkan oleh suara adzan yang seolah terdengar lirih dari kejauhan. Sejenak setelah itu, suara adzan dengan nada lama yang khas berbunyi lirih. Pelan-pelan membangunkan Atra yang lelap tadi. Atra dengan pelan beranjak dari tikar reyotnya, meraih kendi di atas meja samping almari, kemudian menelan air beberapa teguk.

Ia berjalan meraih sarung, peci dan sajadahnya, kemudian meninggalkan ruangan itu melalui pintu tengah, bersamaan dengan itu selesailah lirih adzan yang membangunkannya tadi. Sejenak setelah itu, tiba-tiba lampu berkelap-kelip, Yatra berteriak keras membuat terkejut para penonton, disambung dengan iringan musik yang bergenderang seperti gunung mau meletus. TB dengan pontang-panting dipermainkan oleh kain warna-warninya yang seolah bergerak-gerak ingin menghabisinya. Yatra tergelincir, jatuh, meraung-raung kesakitan tanpa suara dan terseret berputar-putar. Sampai pada klimaks akhirnya ia marah-marah dan membanting kain warna-warni itu dan berdiri kelelahan. Kemudian ia berdiri setengah badan dengan sandaran lututnya, ia memukul-mukul lantai dengan teriakan-teriakan :

Yatra   : Huaaaa! Cukuplah kau mengganggu pikiranku. Kembalikan aku kepada diriku. Aku ingin merawat diriku. Aku ingin membaca. Aku ingin beraksara. Aku ingin berbakti kepada mereka.  Aku ingin kau muksa dengan durhakamu, agar tak lagi memerkosa pikiran dan pengetahuan rasaku. Pergilah! Pergi! Menjadilah burung-burung agar terbang ke mana kau suka. Agar kau tak lagi menjadi berhala di kampungku! Kampungku bukan pemuja berhala! Kampungku bukan penambang riba! Dan kampungku bukan sekumpulan orang-orang ria… (teriak, penuh emosi, menggertak-gertak)

Kemudian Yatra terlihat kebingungan dan menengok ke sana-ke mari, dan terkejut bercampur riang gembira setelah menjatuhkan tatapan matanya pada selembar kain berwarna-warni tadi. Ia kemudian menghampiri kain warna-warni itu dan mengangkatnya perlahan, memeluknya erat-erat sambil mengelusnya dengan penuh kasih, bahkan sampai menangis, dan berkata :

TB       : (dengan nada pelan dan halus seperti merayu-rayu). Asal kau tahu, aku ingin membahagiakan ibuku, aku ingin berbakti kepada pak kyai, aku ingin terus mengaji, tampak gagah dengan sarung, peci, dan wewangian yang ramah. . . .
(kembali dengan nada keras dan marah sekali)
Untuk itu, pergilah! Pergi! Atau kalau tidak, aku timpa ubun-ubunmu dengan semeru, aku pinjam matahari untuk membakarmu, aku tumpahkan seluruh jagat raya ke dalam mulutmu. Agar kau diam dan tak lagi membohongiku dengan mitos-mitos kosong pendustaanmu! (sambil merobek kain berwarna-warni itu yang telah dibanting-banting tadi)

Setelah Yatra menghamburkan kain yang telah ia robek-robek tadi, ia berdiri pelan, melangkah sedikit ke depan dengan gentar dan sedikit malu. Dilanjutkan dengan berbicara sendiri, dengan ekspresi yang begitu menyentuh dan meluluhkan suasana apa pun di sekitarnya :

Yatra   : Jika aku pergi hanya untuk menuruti birahi, aku mati. Jika aku melangkah untuk menyerah, aku salah. Jika ke sana aku tidak berpikir, aku kafir. Jika aku tinggalkan mereka untuk memujamu, aku babu. Aku bukan seperti itu, aku menyayangi ibuku, aku mencintai mereka, semua ini untuk kalian semua;Jalan-jalan yang menikung, pohon-pohon tumbang, awan-awan kelabu, badai, petir, bebatuan yang runtuh dari langit, ikan-ikan mati, burung-burung, sekolah-sekolah rumbiya, bangku-bangku kosong, bendera-bendera setengah tiang, kambing-kambing kurus kehilangan ladangnya, suara-suara sumbang dan biola rusak!
Huft…….(mendesah)
jika masa depan adalah tidak saat ini, maka setengah detik kemudian adalah dia. Jika masa lalu adalah debu, rawatlah dia agar tidak membunuhmu. Jika takdir adalah nafasmu, hiruplah dengan basmallah. Masa depan bukan ruang kosong, dia adalah kehendak dari takdirmu sendiri. Hawa berada bukan karena sisa rusuk Adam, keduanya sama-sama kehendak pemilik segala dunia. Hawa adalah ibuku, dia bukan sisa tulang yang kemudian asing dengan kepalanya sendiri. Hawa adalah peradabanku, yang menyandangiku dengan pakaian-pakaian kebudayaan. Hawa adalah surgaku, yang ia bawa ke mana-mana sebagai telapak kakinya. Ibu… aku ingin pulang, aku ingin pulang….(menjelang dan saat mengucapkan kalimat terakhir ini, Yatra jatuh merangkak dan seperti terseret menuju sudut panggung bagian kanan, kemudian tertidur pelan dan lelap )


(BABAK III)

Setelah Yatra terlelap di sudut kanan panggung, lampu bagian kiri panggung menyala, Atra muncul dari pintu tengah dengan hanya memakai handuk dan membawa gayung sebagai tempat peralatan mandinya. Atra melepas handuknya dan mengeringkan rambutnya yang masih sedikit basah. Sejenak Atra melihat HP nya yang ia taruh di atas almari untuk menengok jam, kemudian ia menyetrika pakaian, menyiapkan buku-buku, membersihkan sepatu yang tampak sudah kusut dan lama, dan memakai batu trawas sebagai pengganti deodoran.

Selama Atra bersiap diri dengan pakaian dan segala macamnya itu, lampu panggung yang sejak tadi menyorotinya berubah remang-remang. Kemudian bagian kanan panggung yang tadi gelap kini mulai hidup perlahan, Yatra bangun dengan ekspresi sigap dan tiba-tiba berdiri, berjalan menghampiri Atra yang tengah khusyuk bersiap diri untuk berangkat kuliah. Yatra terlihat mengganggu Atra dengan gerakan-gerakan kocak namun ringan, tetapi Atra tetap tidak tergoda karena sesungguhnya Yatra adalah tokoh bayangan, tokoh yang sebenarnya tidak terlihat namun merupakan representasi dari pikiran-pikiran Atra.

Saking kesalnya, Yatra kemudian mengambil gosok gigi yang berada dalam gayung peralatan mandi yang terletak di pojok sebelah almari. Sebentar Yatra memeragakan gosok gigi tersebut seperti dirijen sebuah grup orchestra ala Eropa. Ia bergerak-gerak dengan penuh riang seperti menyanyi-nyanyi dan tanpa beban, gerakannya seperti pemain pantomime yang baru ketemu dengan panggung, sangat lincah dan nikmat sekali. Kemudian Yatra berhenti, kebingungan seperti mencari sesuatu, berjalan menengok ke mana saja, kanan, kiri, atas, bawah, dan akhirnya menemukan salah satu sudut yang di sana terdapat beberapa pemain musik yang tampak tidak bergerak.

Kemudian ia menghampirinya, memerhatikan pemain musik satu persatu, dan sesekali mencoba membunyikan alat-alat apa saja yang ada di sana. Ia senang sekali, dan meloncat riang kembali ke tengah panggung. Ia kembali berlagak seperti dirijen orchestra kelas Eropa, dengan tambahan topi bercorak Inggris yang tiba-tiba ia kenakan entah dari mana. Ia menengok ke kanan dan kiri, seperti menyiapkan pertunjukan yang sudah ia siapkan dari kemarin. Dalam hal ini Yatra terlihat profesional sekali.

Ia kemudian mulai mengayun-ayunkan sikat gigi dengan lincahnya, ditambah dengan gerakan-gerakan layaknya seorang dirijen. Ia mengomandoi sebuah imajinasi yang digambarkan melalui pemain musik dan lagu yang dimainkan oleh mereka. Musik yang terdiri dari kombinasi bebunyian trumpet, bass drum, tom, kentongan, icik-icik, jimbe, terbang dan jedor yang dimainkan selang-seling menggambarkan keramaian, merupakan peluapan imajinasi Yatra yang ia pimpin sendiri dengan sikat gigi. Sajian musik yang saat itu benar-benar gembira dan mengungkapkan bahwa Yatra ingin membebaskan pikirannya dari kekakuan yang hampir membunuhnya. Yatra begitu riang, seolah-olah ia lupa dengan kepayahan yang dialaminya tadi hingga kelelahan dan tertidur di sudut kanan panggung.

Selama musik berbunyi, terlihat betapa kelap-kelipnya lampu panggung yang ikut membangun suasana. Tampak juga para pemain musik memainkan alat-alatnya dengan riang gembira. Selama musik berbunyi, Atra yang sejak tadi berada di bagian kiri panggung dengan lampu yang redup masih terlihat menyiapkan dirinya sebelum berangkat kuliah. Akhirnya musik selesai, lampu panggung tidak terlihat kelap-kelip lagi. Yatra melempar topi yang ia kenakan ke arah pintu, kemudian ia terlihat bingung menengok ke sana- ke mari, seperti kehilangan sesuatu. Ia merangkak dengan terburu-buru dan menuju ke sudut kanan panggung, tidak sengaja ia menubruk tetumpukan buku yang tertata tidak rapi dan mengenainya berantakan.


(BABAK IV)

Di bagian kiri panggung lampu mulai terlihat terang, tampak di sana Atra dengan segala aksesoris yang ia pakai sebelum berangkat kuliah. Ketika ia mengecek HP untuk melihat jam, ia tampak kaget karena ternyata sudah terlambat satu jam pada jam mata kuliah awal pagi ini. Ia terlihat sangat gugup ketika mengambil sepatu dan mengenakannya dengan terburu-buru. Setelah sepatu terpakai, sontak ia bergegas dengan lekas menuju pintu tengah untuk berangkat kuliah. Kemudian panggung terlihat sunyi kembali, dengan diiringi musik yang lirih, santai dan tenang. Sesekali lampu panggung berkelap-kelip, menggambarkan suasana yang tidak tentu.

Lampu sorot ke panggung secara perlahan mulai dipercepat frekuensi kerlap-kerlipnya. Bersamaan dengan itu masuklah ke enam pemain musik dengan busana tidak jelas, yakni seluruh badannya berwarna hitam, ada yang memakai topeng terbalik, dan ada yang memakai kacamata kain seperti Zorro. Namun setengah badannya mulai dari pusar hingga kepala dibalut kain sarung berwarna macam-macam, yang dikendalikan oleh kedua tangan dari dalam balutan kain sarung tersebut. Sehingga dalam perpindahan dari tempat pemusik ke tengah panggung dengan disertai gerakan tarian ekspresif yang dibantu oleh balutan kain sarung tersebut.

Mereka berenam menari mengitari panggung dengan iringan musik dari suara elektronik (MP3), dengan tarian kain sarung yang membalut setengah badannya hingga  menutupi kepalanya. Kemudian mereka berhenti membentuk sebuah barisan tiga lapis yang tidak saling menutupi satu sama lain, dan dengan sigap membuka balutan kain sarung yang menutupi kepalanya. Wajah yang tiba-tiba muncul dari balutan kain sarung tadi menggambarkan wajah yang macam-macam, ada yang meringis, sedih, riang, dan tak karuan. Setelah tampak wajahnya, keenam pemusik itu tetap menari seraya mencari sesuatu yang hilang. Hingga pada akhirnya ditemukanlah Yatra yang tertimbuni buku-buku berantakan di atas badannya.

Keenam pemusik tersebut mencoba membangunkan Yatra dengan segala cara; menggerak-gerakkan anggota badannya, meniup-niup wajahnya, menggoyang-goyangkan kakinya, memukul anggota badannya dengan sesuatu, sampai mengangkat badannya untuk berdiri dan dituntun berjalan ke tengah panggung. Badan TB yang terlihat lemas mengikuti tuntunan dari keenam pemusik tadi. Akhirnya badan Yatra dibuat berdiri terlentang dengan jeratan kain rombeng akibat robekan-robekannya tadi pada lehernya yang dijeratkan oleh kedua tangannya. Pose Yatra saat ini seperti pose bagian pertama, postur tubuh tetap kaku namun dengan mata terpejam dan bagian kepala tampak lemas.

Selama menuntun Yatra ke tengah panggung sampai membentuk pose yang demikian, bunyi musik semakin terdengar aneh, lampu berkerlap-kerlip semakin cepat, namun kembali sorotannya fokus kepada Yatra yang saat itu sudah berdiri tegak dengan kepala lemas. Musik berbunyi semakin keras dengan tempo yang lebih cepat. Lagi-lagi keenam pemusik tampak kebingungan dan panik, kemudian menutupkan kain sarungnya hingga ke atas kepalanya, dan bergerak tak beraturan sambil berjalan terburu-buru menuju tempat asalnya (tempat pemusik), Setelah mendapatkan posisi duduknya, keenam pemusik tadi menundukkan kepalanya tanpa ekspresi. Namun ada satu pemain musik yang tertinggal di panggung dengan menutup setengah badan hingga kepalanya dengan balutan kain sarung tadi.

Setelah itu, sesaat jeda di dalam panggung disertai iringan musik yang bersuara alami, terdiri dari bebunyian lirih saron, jedor, suara air, dan sesekali kentongan. Lampu panggung menyorot tepat pada Yatra yang masih berdiri tegak di tengah panggung. Satu pemain musik yang masih tertinggal tadi bergerak sedikit demi sedikit, sampai akhirnya berdiri dengan secarik kertas yang ia raih dari saku belakangnya. Ia, pemain musik tadi, wajahnya berwarna setengah-setengah, hitam dan putih. Ia mulai beradaptasi pada keadaan panggung dengan tenang, khidmat sekali.

Kemudian ia menarik nafas, dan mulai membaca syair dari secarik kertas tadi.

……………….






Usai membacakan syair, ia langsung kembali bergabung pada para pemusik yang lain. Yatra terlihat murung dan sedih, sambil mengingat-ingat syair yang telah dibacakan oleh salah satu pemusik tadi. Yatra tampak berfikir keras, juga sempat terlihat bingung akan syair yang seolah-olah masih menari-nari di dalam kepalanya. Ia lalu berdiri perlahan, dengan membawa kain yang sudah rombeng tadi kemudian menuju ke belakang panggung. Ia duduk menghadap tetumpukan buku berantakan yang tadi ia rubuhkan. Ia bersila dengan menangis yang terisak-isak, namun tanpa suara.

Dengan posisi badan yang serong menghadap tetumpukan buku yang berantakan itu, ia kemudian sedikit berbicara sendiri :

Yatra   : Benar, ternyata kampungku masih berantakan. Bahkan mereka belum mengerti siapa mereka. Ketika hujan disangka kemarau, di saat kemarau karena menjual nyawa-nyawa mereka sendiri. Sangat ramai mereka mempeributkan surau-surau yang rusak, tetapi ketika selesai tak pernah mereka penuhi. Seperti meja judi saja, seperti kucing-kucing liar saja, seperti memikirkan kelaminnya saja, dan seperti tak pernah membersihkan sisa beraknya saja. Ah! Terlalu banyak seperti, kapan mereka bergegas mengembalikan keberadaan mereka? Huuuu…. Hiks… hiks.. (sambil menangis tersendu-sendu, kemudian terisak-isak namun tanpa suara)


(BABAK V)

Yatra masih dalam posisinya seperti itu, dan tetap menangis tanpa suara. Saat itu ilustrasi musik semakin menjadi-jadi bunyinya, menggambarkan suasana duka yang begitu lara. Paduan solo trumpet, komposisi saron dan alat musik pukul lainnya membantu suasana Yatra yang sedang patah hati bukan main karena memikirkan semuanya. Lampu pun ikut remang-remang menyoroti Yatra dan panggungnya bagian kanan. Musik perlahan lirih dan kemudian berhenti. Yatra tiba-tiba berisik. Ia yang tadi menangis tanpa suara, kini menjadi semakin berisik dengan nada tangisnya yang bersuara, namun suara tangisnya tidak sekeras pembicaraannya sendiri dengan tetumpukan buku yang lalu, hanya agak lirih saja, sedang, dan tidak terlalu keras, namun ramai dan berisik.

Yatra masih menangis terisak, dengan tidak dilatari musik sebagai pembangun suasana. Sesungguhnya isak tangis Yatra lah yang menjadi musik pembangun suasana yang diam pada saat itu. Yatra sangat menangis, sesekali ia mengusap air matanya dengan tangannya, dengan kain rombeng yang sejak tadi masih berada di genggaman tangannya. Selain menangis ia juga tampak malu, malu pada semuanya. Terkadang ia juga memeluk apa pun yang ada di sekitarnya; buku-buku, piala-piala, mengamati piagam-piagam yang berjajar di dinding-dinding panggung. Ia seolah-olah sangat hancur dan hampir meninggalkan raganya.

Kemudian Atra muncul dari pintu tengah dengan perasaan riang dan berbusana wisuda. Dengan penampilan seperti itu terlihat bahwa ia baru saja menyelesaikan jenjang sarjana satu, sebuah gelar yang telah sekian lama ia tempuh dengan jatuh bangun. Ia tampak tersenyum-senyum sendiri melihat suasana sekitar panggung dengan memegangi sertifikat kesarjanaan yang ia genggam dengan bangga. Ia lalu duduk di atas tempat tidur, dengan ekspresi yang tiba-tiba terlihat sedih. Kemudian ia berbicara sendiri dengan nada haru :

Atra                 : Hmmm… (mendesah). Seandainya ibu di sini, dan ayah masih hidup, mereka pasti bangga menyaksikan anaknya diwisuda. Ibu, baik-baik di sana. Ibu sudah tua dan sekarang pun masih sakit-sakitan. Anakmu akan segera pulang, Bu. Anakmu sudah sangat rindu dan ingin segera mencium tanganmu. (dengan nada terharu dan sesekali mengusap air matanya yang tiba-tiba menetes)

Atra kemudian beranjak dari tempat tidur, melepaskan pakaian wisudanya, dan mengemasi barang-barangnya. Ia terlihat bahagia, karena sebentar lagi pulang kampung dan bertemu dengan ibunya yang tercinta. Ia mengemasi semuanya, pakaian-pakaian, buku-buku, piagam-piagam, dan piala-piala. Ia sudah menyiapkan satu koper besar di bawah tempat tidurnya untuk mengemasi semua barang-barangnya.

Saat Atra mengemasi semua barang-barangnya, musik perlahan mulai bersuara lirih, ikut merayakan suasana panggung pada saat itu. Yatra masih terisak-isak menangis atas segala pikirannya yang lalu, dan lampu panggung yang menyorotinya masih terlihat remang-remang. Berbeda dengan penerangan di sebelah kiri panggung, terang-benderang menyoroti aktivitas Atra yang sedang mengemasi barang-barangnya.

Dari instrumen musik yang awalnya tadi lirih dan pelan, kini berubah menjadi musik hidup dan ramai, kira-kira seperti pada pertengahan adegan tadi, saat Yatra memainkan musik seperti rombongan orchestra ala Eropa. Suasana panggung seolah-olah menjadi bahagia karena suara musik yang mengiringinya, serta Atra yang tengah berbahagia itu. Suasana gembira itu seperti tidak menghiraukan tangisan Yatra di bagian panggung sebelah kanan yang semakin keras tangisannya, namun tangisannya pun masih kalah dengan suara musik yang semakin ramai.

Setelah Atra selesai berkemas, ia dengan penuh bahagia dan semangat menuju ke pintu tengah dan hilang sambil membawa koper besarnya, ia meninggalkan panggung itu menandakan perannya telah selesai. Berbeda dengan Atra yang masih menangis bersama suara musik yang bahagia itu. Musik kemudian selesai, dan Yatra pun masih menangis. Lalu Atra berdiri dan beranjak dari tempat duduknya, sembari beranjak ia melempar kain rombengnya ke langit-langit atas, dan bertebaran jatuh entah ke mana.

Atra selesai, Yatra juga selesai. Kemudian musik menyambung kembali dengan ramai seperti tadi sampai selesai, sebagai akhir dari pertunjukan kisah Atracayatra, kisah Atra dan Yatra, yang berarti di sini dan di mana.





Property yang dibutuhkan :

1.      Seragam satu stel, berupa kaos ketat dan celana ketat satu warna, 2 berwarna putih dan 8 berwarna hitam.
2.      Topeng putih 3, topeng zorro 3
3.      Sarung dan ikat pinggang 8
4.      Kertas
5.      Kain berwarna-warni 2 cm
6.      Properti panggung seperti yang sudah tertulis pada prolog naskah :
-          Pintu tengah, terbuat dari bambu dan anyaman bamboo berhias atap rumbia
-          Buku-buku, piagam-piagam, piala-piala
-          Meja
-          Almari dan segala isinya (pakaian)
-          Galon/kendi
-          Tempat tidur beserta tikarnya
-          Koper besar di bawah tempat tidur
-          Setrika
-          Sepatu
-          Sarung, peci, sajadah pada gantungan pakaian di pojok
NB : Sementara ini dulu, nanti jika ada yang kurang akan segera diberitahukan.











Tim Produksi :
Te@sa Lintas Generasi
Sutradara :
Rade Anoemertha
Pemeran :
Atra     = M. Haikal Wartaya Saputra (i) Fiqoya
Yatra   = Beni Khoiril Sa’diyah
Pemusik :
1.      Rade Anoemertha à Trumpeter
2.      M. Miftachul Ulum (suaminya Raden Ajeng Kuntariyati, penjual mie ayam itu lho, juga anaknya papah Ulil :D) à Teplak’er
3.      M. Fahrudi à Baritoner
4.      M. As’ad à Tomer
5.      Ahmad Afif Mu’aciel à Basser
6.      Noor Alfian Aslam (adine mister Pong) à Saroner
7.      M. Miftahul Huda (Quthel) à Bambuer, icik-iciker
8.      M. Sofwan (calon pengantin) à Cymbaler
Lighting :
1.      Taufiq Umam (juragan ayam)
2.      Muzaki As’ad (juragan emas)
Setting panggung :
1.      Kamaluddindonesia Raya-raya Ciungnya Dawa Tanpa Busana Menggawa Randa Lima Tanpa Busana Juga.
2.      M. Yusuf Iskandar
3.      Ahmad Nailun Najih
4.      Ugiek Putra Slank’e’an
5.      Gimbo (Putra Slank’e’an juga)
Make Up :
Make up akan dikerjakan oleh para pemain sendiri-sendiri, dan akan dibantu bagi crew-crew lain yang selo.

.S.A.L.A.M. .P.E.M.E.N.A.N.G. .:.D.

Penulis : Beni Khoiril Abdillah
Share on Google Plus

About KMPP Walisongo

0 komentar: