BUKAN perkara mudah merealisasikan pembangunan pabrik semen di Jateng. Kasus Pati setidaknya membuktikan, aspek teknis dan finansial bagi Semen Gresik mewujudkan pabrik semen di sana memang bukan perkara sulit. Namun demikian, dimensi sosiologis, antropolis, kultural, dan isu lingkungan menjadi problem berat sehingga rencana memiliki pabrik semen di Pati mesti ditahan untuk sementara waktu. "Isu lingkungan dan pembebasan lahan itu problem paling berat untuk membangun pabrik semen di Jawa," tutur Dwi Soetjipto, Dirut PT Semen Gresik (Persero) Tbk.
Perspektif
sosiologis-historis menunjukkan sejumlah proyek pembangunan skala besar
di Jateng tak jarang menemui resistensi sosial tak ringan. Tempo
resistensi itu sangat lama dan membutuhkan banyak energi untuk meredam
dan menyelesaikannya.
Kita
tentu masih ingat pembangunan Waduk Kedungombo pada pertengahan
1980-an. Waduk yang dibangun di era rezim Orde Baru, Soeharto itu
melingkupi wilayah Kabupaten Boyolali, Sragen, dan Grobogan. Waduk
Kedungombo merupakan bendungan raksasa dengan luas 6.576 hektare yang
membendung lima aliran sungai. Lahan seluas 6.576 hektare itu merupakan
wilayah perairan yang sudah ada seluas 2.830 hektare dan sisanya yang
3.746 hektare didapat melalui pembebasan lahan pertanian milik warga.
Pendanaan proyek ini berasal dari utang luar negeri senilai 156 juta
dolar Amerika dari Bank Dunia, 25,2 juta dolar Amerika dari Bank Exim
Jepang, dan APBN. Proyek dikerjakan pada 1985 sampai 1989.
Sejarah
pembangunan Waduk Kedungombo penuh pengalaman traumatik dari sisi
politik dan kemanusiaan. Selain warga yang tanahnya terkena pembebasan
untuk kepentingan pembangunan waduk mengalami pembungkaman atas sikap
kritisnya, mereka juga memperoleh ganti rugi secara tak layak. Mekanisme
ganti rugi telah didesain Bank Dunia senilai Rp 10.000 per meter
persegi. Tapi, harga tanah yang dibayarkan kepada rakyat tak lebih dari
Rp 1.000 per meter persegi.
Karena
itu, pembangunan Waduk Kedungombo diwarnai perlawanan begitu sengit
dari warga yang tanahnya tergusur. Tempo perlawanan itu berjalan sangat
panjang dan terus membekas hingga sekarang. Waduk Kedungombo mewariskan
sejarah traumatik yang menghadapkan pemerintah (negara) vis a vis warga
terkait masalah agraria.
Sama
halnya dengan resistensi rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga
nuklir (PLTN) di kawasan Bukit Muria, Kabupaten Jepara, Jateng. Isu itu
menghangat pada 2006 dan meredup pada 2008 setelah muncul perlawanan
begitu sengit dari warga yang menolak kehadiran PLTN di daerahnya.
Penolakan
warga di Jepara atas rencana pembangunan PLTN itu melalui proses
panjang lewat dialog dengan pakar nuklir, Dewan Energi Nasional, Komisi
VII DPR RI, hingga pembahasan para pakar pro dan kontra yang melahirkan
fatwa haram PLTN di Semenanjung Muria. Presiden Masyarakat Reksa Bumi
(Marem) Lilo Sunaryo PhD dan Ketua PCNU Jepara KH Nuruddin Amin, terus
menjaga energi resistensi itu bersama-sama dengan masyarakat. Marem
adalah lembaga swadaya masyarakat yang dideklarasikan pada 2006 di
Alun-alun Jepara.
Ketika
masalah ini sedang hangat-hangatnya jadi pro dan kontra di masyarakat,
muncul fatwa haram pembangunan PLTN Muria yang dicetuskan para ulama NU
Jateng setelah menggelar pembahasan masalah-masalah (bahtsul masail)
di gedung PCNU Jepara pada September 2007. Pada kegiatan itu hadir
mantan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Kusmayanto Kadiman
(Menristek), dan Dr Iwan Kurniawan. Para kiai juga membongkar satu
persatu sejarah kegagalan/bencana PLTN, seperti Three Miles Island AS
(1979), Chernobyl (1986), Tokai Mura Jepang (1999), Inggris (2000), dan
Swedia (2006).
Para
kiai tak hanya melakukan refleksi kaidah-kaidah fikih, tapi juga
sejarah panjang PLTN di dunia dan wacana di Indonesia. "Hukum haram ini
melalui kajian panjang dari masing-masing kiai. Jadi, mereka telah
memiliki bekal informasi seputar PLTN, termasuk pandangan dari sisi
fikih," kata KH Nuruddin Amin yang akrab disapa Gus Nung. (Suara Merdeka, 19 Maret 2011).
Dukungan Pemerintah
Soal
dukungan pemerintah lokal atas rencana pembangunan pabrik semen di
Rembang sudah dikantongi Semen Gresik. Dwi Soetjipto mengutarakan,
dukungan politik pemerintah lokal sangat tinggi. Demikian pula dengan
Pemprov Jateng di bawah pimpinan Gubernur Bibit Waluyo memberikan
dukungan serupa. "Sejauh ini dukungan cukup tinggi. Bahkan mungkin kami
bilang tinggi sekali dukungan dari local government.
Dari Pemprov Jateng dan Pemkab Rembang kami mendapat dukungan cukup
bagus, dan itu harus terus sampai ke bawah," tegas Dwi Soetjipto.
Dukungan
politik dari elite lokal Rembang dan regional Jateng sangat penting dan
strategis untuk mendorong investor luar masuk Jateng dan khususnya
Rembang. Maklum, tingkat investasi di Jateng umumnya masih kalah
dibanding Jabar dan Jatim. Gubernur Bibit Waluyo sebelumnya sempat
mengungkapkan kekecewaannya atas pembatalan pembangunan pabrik semen
milik Semen Gresik di Kecamatan Sukolilo, Pati. "Daerah lain mencari
masuknya investasi besar susahnya bukan main, di Jateng ada investasi
senilai lima triliun rupiah kok ditolak," kata Gubernur kala itu. (Suara Merdeka, 5 September 2009).
Tentunya kehadiran pabrik semen di Rembang diharapkan memberikan multiplier effect (efek
berantai) signifikan bagi rakyat dan pembangunan daerah setempat.
Realitas kehadiran Semen Gresik di Tuban berdampak signifikan bagi
peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) setempat. Tingkat PAD Tuban
saat pertama kali pabrik semen beroperasi di daerah itu mencapai Rp
19.113.349.440 (1992/1993). Pada Tahun Anggaran 2010, PAD Tuban
menyentuh angka Rp 106.369.268.224. Pemasukan itu bersumber dari
operasional tiga unit pabrik semen milik Semen Gresik dan di 2012 ini
dipastikan bakal lebih tinggi setelah satu unit pabrik baru Semen Gresik
mulai beroperasi sejak Mei. "Pemasukan PAD dari Semen Gresik mencapai
70%," kata Sunardi Prionomurti, mantan Sekper Semen Gresik yang kini
menjabat Dirut PT Varia Usaha (anak perusahaan Semen Gresik).
Selain itu, di tingkat masyarakat ada alokasi anggaran yang masuk program corporate social responsibility (CSR).
Pada 2011, nilai anggaran CSR Semen Gresik sebesar Rp 139,8 miliar.
Saat rencana pendirian pabrik semen di Sukolilo, Pati masih berjalan,
diperkirakan pabrik itu mampu menampung pekerja sekitar 2.000 orang di
dalam pabrik dan sekitar 3.000 personel yang bekerja di armada angkutan.
Itu menunjukkan efek berantai sektor ekonomi atas keberadaan Semen
Gresik akan sangat besar.
Potret
perencanaan yang gagal diimplementasikan di Pati, diharapkan tidak
terjadi di Rembang. "Para pihak jangan khawatir soal isu lingkungan.
Semen Gresik sangat memperhatikan masalah itu. Kami tak meninggalkan
begitu saja bekas lahan tambang di Gresik dan Tuban. Buktinya, banyak
lahan tambang kami di Gresik berubah menjadi perumahan, tempat wisata,
pertanian, dan lainnya," tandas Dwi Soetjipto.
Selain
itu, sehari-hari Semen Gresik memiliki program pantau lingkungan yang
meliputi pemantauan terhadap emisi udara cerobong pabrik, kualitas udara
ambien, tingkat kebisingan lingkungan, konsentrasi debu area pabrik,
iklim kerja, kualitas air buangan, air badan air, air laut, dan
pemantauan air bawah tanah.
"Kami juga memasang perangkat teknologi bernama electrostatic precipitators di raw mill danclinker cooler pabrik,
dengan tingkat keberhasilan 99%. Alat ini mampu menangkap debu dalam
jumlah ribuan ton per hari. Karena hakikatnya debu itu produk kami
sehingga jangan sampai hilang. Kalau banyak debu beterbangan, kami juga
sangat rugi," kata GM Commisioning pabrik Tuban IV, Otto Andri Priyono.
Ditulis Oleh : Setiawan Hendra Kelana
Sumber : http://suaramerdeka.com
0 komentar:
Post a Comment