Samin dan Upaya Pertahankan Bahasa Jawa

Masyarakat Samin merupakan komunitas adat yang eksis di Blora, Pati, dan Kudus Jawa Tengah. Hingga kini warga sedulur sikep itu masih kukuh menggunakan bahasa Jawa dan menguri-uri tradisi Jawa dalam kehidupan sehari-hari.
Komunitas ini ada sejak 1840-an tatkala Pulau Jawa dijajah Belanda. Obsesi yang diharapkan dengan keberadaan komunitas Samin adalah ingin memerdekakan Pulau Jawa (saat itu belum mengenal kata Indonesia). Komunitas ini diprakarsai Ki Samin Surosentiko di Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Blora, Jawa Tengah.
Keberadaan komunitas Samin yang membedakan dengan komunitas lain adalah beragama Adam dan interaksinya menggunakan bahasa Jawa Ngoko bila dengan sesama Samin dan bahasa Jawa kromo madyo bila dengan orang non-Samin.
Warga Samin masih mempertahankan bahasa Jawa di tengah terpaan bahasa lain. Proses mempertahankan bahasa Jawa dalam interaksi di lingkungan Samin dan pedidikan rumahan (homeschooling) yang mereka lakukan.
Akan tetapi, sebagaimana riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), bahasa daerah (Jawa) yang dipertahankan warga Samin kian bergeser menjadi tidak Jawa secara utuh karena kehidupan sebagian warganya menjadi pekerja urban.
“Upaya yang harus segera ditangani pemerintah adalah mencari solusi faktor penyebab warga Samin menjadi pekerja urban, yakni kegagalan pertanian karena lahan terkena banjir dan hama. Melanggengkan bahasa Jawa juga diterapkan dalam nyanyian Jawa yakni kidungan,” ujar Moh.Rosyid, peneliti Samin dan pemerhati sejarah dari STAIN Kudus, Kamis (26/3).
Hal ini, kata Rosyid, kian menghadapi tantangan secara alamiah karena mudahnya mengakses informasi dengan media sosial. Kedua, lanjutnya, memfasilitasi optimalnya sekolah rumahan warga Samin yang ajarannya ditransformasikan dalam bahasa Jawa.
“Ketiga, mendidik atau mendiklat tokoh Samin untuk dibekali dengan metode pembelajaran bahasa yang tepat dan sesuai dengan 'daya tangkap' sesepuh Samin karena hanya menyelesaikan bangku wajib belajar, agar bahasa daerah (Jawa) tetap kokoh.Upaya ini memerlukan good will pemda dalam mempertahankan bahasa Jawa melalui pemberdayaan pengguna bahasa pada aras komunitas lokal,” tandasnya.
Rosyid juga menyebutkan hasil riset pakar bahasa LIPI, Fanny Henry Tondo, menyatakan bahwa kondisi bahasa daerah di Indonesia memprihatinkan karena banyak yang punah. Kekayaan bahasa daerah di Indonesia sebanyak 749 bahasa, terbesar kedua di dunia, setelah negara Papua Nugini sebanyak 800 bahasa daerah.
Penyebab punahnya bahasa daerah di Indonesia, menurutnya, sejak dulu penuturnya terbatas dan keturunannya tak bertambah. Jumlah penuturnya berkurang drastis karena bencana alam atau wabah penyakit, ada pula yang memilih hidup nomaden (berpindah dari hutan ke hutan) sehingga menyerap bahasa daerah lainnya.
Menurut antropolog dan peneliti bahasa daerah dari LIPI, Abdul Rachman Patji, faktor penghambat perkembangan bahasa daerah dikarenakan proses transfer bahasa antargenerasi tak maksimal.
“Penuturnya, merantau ke wilayah lain, perkawinan silang antarsuku, dan banyaknya bahasa daerah di sebuah wilayah sehingga pemda tak memprioritaskan bahasa daerah untuk diajarkan dalam muatan lokal di sekolah formal. Kepedulian untuk melestarikan bahasa daerah dengan diusulkannya RUU Perlindungan Bahasa Daerah dan Kesenian Daerah, tapi tak terakomodasi dalam Prolegnas 2015-2019,” jelasnya.
sumber : Jateng ekspres
Share on Google Plus

About KMPP Walisongo

0 komentar: